Epang Gawang
Monday, July 24, 2006
 
Paralaks Tekonologi

Jumat sore pekan lalu, pulang kerja saya hampir ditabrak dua motor di perempatan dekat kantor. Ceriteranya, lampu merah, dan seperti biasa saya ingin buru-buru menyeberang. Eh ada dua motor bablas. Baiknya dengan susah payah, ditambah caci maki, keduanya berhasil menghindari saya. Tapi belum putus umpatan mereka, hanya beberapa meter kemudian, keduanya nyaris diseruduk puluhan motor yang mulai bergerak dari arah berlawanan, hendak belok ke kanan. Beruntung, semua berhasil menginjak rem pada saatnya -- ditambah caci maki, tentu saja. Seperti saya, keduanya pun selamat.

Yang terjadi adalah: kedua motor itu masih sekitar 100 meter dari persimpangan ketika nyala lampu berganti dari hijau ke kuning. Bukannya memperlambat laju kendaraan, gas malah mereka tancap makin dalam. Sekitar beberapa meter menjelang perempatan lampu berganti merah. Sulit bagi mereka untuk menginjak rem tiba-tiba. Sementara saya, yang hanya berkonsentrasi pada lampu, lansung nyelonong. Saya lupa bahwa bagi sebagian pengemudi lampu kuning berarti "tancap gas" dan bukan "bersiap untuk berhenti".

Seperti saya bilang tadi, saya lupa. Padahal banyak orang tahu, yang seperti ini bukan hal baru. Teknologi sering tidak digunakan sebagaimana yang dicitrakan. Mobil misalnya. Konon benda ini diciptakan untuk mempercepat dan mempermudah perjalanan dari satu tempat ke tempat lain. Benda ini kemudian disebut alat transportasi. Mobil juga, kemudian, menjadi ektensi dari gengsi dan kenyamanan. Tapi nyatanya, di Jakarta, hampir tidak ada mobil yang tak pernah terjebak macet. Bahkan ada yang sampai berjam-jam. Jam tangan lain lagi. Alat ini digagas untuk membantu pemiliknya mengelola waktu. Eh, yang namanya "budaya" molor, tak hilang-hilang juga. Atau, coba perhatikan para anggota DPR RI yang sering bolos rapat meski semua agenda sudah terekam dalam ponsel mereka yang canggih. Contoh lain, trotoar yang dikreasi untuk memberi ruang bagi para pejalan kaki -- kini seolah sengaja disiapkan bagi para pedagang kaki lima. Dan seterusnya. Kalau disebut satu per satu, daftarnya pasti akan sangat panjang.

Kenapa (seolah-olah) ada begitu banyak paradoks dalam modernisasi atau penerapan teknologi?

Alfin Toffler, seorang futuris, punya perspektif yang menarik. Dalam dua bukunya: "Future Shock" dan "The Third Wafe" -- yang berbicarakan soal perkembangan kebudayaan yang memuncak pada teknologi -- dia sudah mengisyaratkan hal semacam ini akan terjadi. Alasannya, karena modernisasi atau adopsi teknologi (fisik) berlangsung sangat cepat, sementara adopsi kultur (nilai) dari modernisasi atau teknologi berjalan lamban. Ketidaksinkronan inilah yang merangsang terjadinya "kejutan-kejutan" yang atau dia sebut dengan istilah future shock -- sebagian besarnya adalah kejutan budaya (culture shock).

Teori Toffler masuk akal karena dia, mengevaluasi perkembangan masyarakat dari sudut pandang teknologi: bahwa teknologi menentukan cara hidup masyarakat (technological determinism). Teknologi di sini lalu bukan sekedar alat, tapi nilai yang menentukan pembentukan struktur masyarakat. Kalau setia pada cara pandang ini maka para penyerobot lampu merah, pedagang di trotoar, atau pemilik jam tangan yang masih suka molor akan dianggap seabgai orang "sakit" -- menderita simptom personality/cultural disorder. Perbuatan mereka dianggap sebagai penyimpangan atau bahkan kegagalan sosial. Cara pandang ini: menggilakan banyak orang!

Baiknya, ada cara pandang lain yang lebih "membebaskan", yakni: masyarkatlah yang menentukan apa yang harus dilakukan dengan sebuah teknologi (social deteminism/social choice). Kalau pada aras technological determinism, buruh pabrik bekerja sampai malam karena ada lampu (penerangan), maka menurut pendekatan social choice listrik hanyalah wujud teknologis dari kehendak manusia untuk bisa bekerja lebih lama, termasuk di malam hari. Teknologi, dalam pendekatan ini, bebas nilai. Manusialah yang memberi dia nilai. Makna teknologi secara privat maupun kultural lalu tergantung kepada individu atau masyarakat. Contoh: kalau lampu kuning menandakan sebentar lagi akan merah sementara kalau memacu motor lebih cepat saya yakin bisa melewati perempat sepelum lampu menjadi merah -- kenapa harus memperlambat laju motor saya? Atau, bukankah bukan tidak mungkin para anggota Dewan memang sengaja membeli telpon genggam yang mahal sehingga bisa memasukan semua agenda mereka ke dalamnya dan menentukan kapan waktunya untuk bolos?

Pendekatan social choice, merelatifkan kesimpulan-kesimpulan yang dibuat dengan cara pandang technological determinism. Yang dianggap menderita personality atau culutural disorder tadi mungkin malah merupakan individu kreatif atau unik.

Persoalannya, saat ini penganut technological determinism tampaknya masih lebih banyak. Seorang teman saya -- termasuk orang kaya di Etiopia -- misalnya, sambil tertawa pernah bercerita tentang beberapa guru miskin dari pelosok di negaranya yang ketika pulang jalan-jalan dari Eropa, atas biaya sebuah NGO, membawa televisi. "Padahal di kampung mereka tidak ada listrik atau pun aki," ujarnya. Ketika itu saya pun ikut tertawa, lupa bahwa di daerah-daerah miskin, memiliki televisi -- dibeli di Eropa lagi -- meski tak bisa dihidupkan bisa menjadi sumber esteem yang bisa membuat pemiliknya lebih terpandang. Film "The God Must Be Crazy", menurut saya, menjadi laris karena sebagian besar kita terbiasa berpresepsi dalam aras technological determinism ini.

Saya sendiri suka menyebut fenomena-fenomena di atas sebagai paralaks teknologi dan bukan paradoks: mata melihat seolah-olah ada kesalahan, tapi sebenarnya tidak. Seperti sebatang kayu yang setengahnya dimasukan ke dalam air secara vertikal: kayu itu tetap lurus, meski pada batas air terlihat seolah-olah ada patahan yang membuat, dalam pandangan kita, kayu itu bengkok. Keduanya: social determinism dan technological determinism menurut saya merupakan saudara kembar dari dinamika yang sama. Karena itu, daripada mempersalahkan para "penganut teori lampu kuning ngebut", di hari-hari mendatang lebih baik saya menunggu beberapa saat setelah lampu merah menyala sebelum mulai menyeberang.
 
Comments: Post a Comment



<< Home

ARCHIVES
May 2006 / June 2006 / July 2006 /


Powered by Blogger